Perdebatan mengenai Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) Aparatur Sipil Negara (ASN) kembali mencuat ketika sejumlah pemerintah daerah melakukan pemangkasan atau penundaan pembayaran. Tidak sedikit ASN yang merasa dirugikan, bahkan menganggap TPP sebagai hak wajib. Namun, jika ditilik dari regulasi dan realitas fiskal di berbagai daerah, jelas bahwa TPP bukanlah hak normatif, melainkan kebijakan insentif yang bergantung penuh pada kemampuan APBD.
Hak Normatif ASN Sudah Jelas
Dasar hukum paling kuat ada dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Pasal 79 ayat (2) menyatakan: “Hak Pegawai ASN meliputi gaji, tunjangan, dan fasilitas.”
Pasal 80 ayat (1) memperinci: “Jenis tunjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) terdiri atas: a) tunjangan keluarga; b) tunjangan pangan; dan c) tunjangan jabatan struktural atau tunjangan jabatan fungsional.”
Dari bunyi pasal ini, jelas bahwa TPP tidak termasuk hak wajib ASN. Gaji pokok dan tunjangan tertentu dilindungi undang-undang, sementara TPP tidak disebutkan sama sekali.
TPP Boleh Diberikan, Boleh Tidak
Posisi TPP dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pasal 58 ayat (1): “Belanja pegawai meliputi belanja gaji dan tunjangan melekat, serta tambahan penghasilan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 58 ayat (2): “Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.”
Frasa “dapat diberikan” mengandung makna opsional. Pemerintah daerah tidak memiliki kewajiban hukum untuk selalu membayar TPP. Pemberian hanya dilakukan jika kemampuan fiskal memungkinkan.
APBD Harus Prioritas
Setiap tahun, Kementerian Dalam Negeri juga mengeluarkan regulasi teknis. Misalnya Permendagri Nomor 84 Tahun 2022 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2023. Di sana ditegaskan bahwa belanja pegawai, termasuk TPP, tidak boleh mengganggu belanja wajib seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Dengan demikian, logikanya sederhana: jika pembayaran TPP mengorbankan layanan publik, maka TPP harus dikurangi atau bahkan ditiadakan.
Contoh Kasus Nyata
Prinsip ini bukan sekadar teori, tetapi sudah diterapkan di banyak daerah:
Kota Mojokerto menyesuaikan besaran TPP karena belanja pegawai sudah mencapai 34% dari APBD. Tanpa rasionalisasi, anggaran TPP bisa habis sebelum akhir tahun.
Kota Tanjungpinang bahkan memangkas TPP hingga 25% akibat defisit Rp 280 miliar. ASN hanya mendapat TPP untuk enam bulan.
Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel, menurunkan TPP melalui SK Bupati baru karena defisit anggaran dan efisiensi wajib dilakukan.
Kota Palembang memotong TPP ASN sebesar 50% lantaran target Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak tercapai.
Kabupaten Bone, Sulsel, dan Kabupaten Kuningan, Jabar, juga mengurangi TPP ASN masing-masing 20–25% untuk menyelamatkan keuangan daerah.
Bahkan di Kotawaringin Timur, Kalteng, pemerintah daerah berencana mengurangi TPP bertahap agar belanja pegawai tidak melampaui batas regulasi nasional.
Kasus-kasus tersebut membuktikan bahwa TPP benar-benar bergantung pada kemampuan fiskal daerah.
Menempatkan TPP di Posisi yang Tepat
Masalah muncul ketika ASN memandang TPP sama pentingnya dengan gaji pokok. Padahal, dari sisi hukum maupun praktik, TPP lebih tepat disebut bonus kinerja yang kondisional. ASN seharusnya memahami bahwa tuntutan terhadap TPP tidak bisa disamakan dengan hak gaji pokok, tunjangan keluarga, atau tunjangan jabatan.
Tanggung Jawab Fiskal Daerah
Daerah memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menjaga kesehatan fiskal. Memaksakan pembayaran TPP di tengah defisit sama saja mengorbankan belanja publik yang lebih vital. Apa jadinya jika TPP dibayarkan penuh, tapi anggaran untuk obat di Puskesmas atau beasiswa anak sekolah justru dikurangi?
Dengan dasar UU ASN (Pasal 79–80), PP No. 12/2019 (Pasal 58 ayat 1–2), dan Permendagri tentang APBD, serta contoh nyata di berbagai daerah, jelas bahwa TPP bukan hak wajib ASN, melainkan insentif tambahan.
Maka, bijak rasanya jika ASN menempatkan TPP sesuai porsinya. Pemerintah daerah pun wajib transparan agar kebijakan rasionalisasi TPP dipahami sebagai langkah menyelamatkan keuangan daerah, bukan sekadar pemotongan sepihak.
Discussion about this post