Taman Tani Merdeka Martapura, dulunya tempat orang jogging, kini malah bisa jadi tempat belanja mingguan. Dari ujung ke ujung, tenda pedagang berjajar rapi—seakan taman ini diam-diam berubah profesi: dari ruang terbuka hijau menjadi mal terbuka biru, lengkap dengan atap terpal.
Warga yang dulu berlari mengejar kesehatan, sekarang berlari menghindari tiang tenda. Anak-anak yang dulu main ayunan, kini main petak umpet di balik gerobak gorengan. Kalau begini terus, jangan-jangan papan nama taman juga harus diganti: “Selamat Datang di Pasar Tani Merdeka”.
Satirnya jelas: taman yang mestinya jadi paru-paru kota justru disulap jadi dompet darurat. Bukan salah pedagang semata, mereka hanya mengais rezeki. Yang patut dipertanyakan, di mana keberanian pemerintah menata? Kalau diam saja, berarti mereka juga ikut belanja diskonan di tenda itu.
Solusinya sebenarnya sederhana: pedagang jangan diusir, tapi ditata. Zona khusus kuliner, jadwal operasional, atau tempat berjualan di sisi luar taman bisa jadi win-win solution. Jadi warga tetap bisa jogging tanpa takut nyenggol sate, dan pedagang tetap bisa berjualan tanpa takut digusur.
Karena sejatinya, Taman Tani Merdeka bukanlah pasar malam permanen. Ia adalah ruang hidup bersama. Kalau pemerintah tidak segera turun tangan, jangan salahkan warga kalau suatu hari jogging sambil bawa keranjang belanja.
Discussion about this post