OKU Timur, KMe — Di tengah ramainya polemik Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) di berbagai instansi Pemerintah Daerah OKU Timur , muncul satu kegelisahan yang tak pernah benar-benar mendapat panggung. Nasib tenaga kesehatan (nakes) yang tidak. menikmati TPP sebagaimana ASN lainnya.
Padahal, mereka bagian dari aparatur sipil negara juga dengan jam kerja panjang, risiko tinggi, dan tanggung jawab kemanusiaan yang besar. Namun dalam skema birokrasi daerah, mereka seolah tidak punya “beban kerja” yang diakui.
Skema TPP yang Tak Peka pada Lini Kemanusiaan
Berdasarkan Permendagri Nomor 6 Tahun 2021, TPP diberikan dengan mempertimbangkan beban kerja, prestasi kerja, kondisi kerja, kelangkaan profesi, dan tempat bertugas.
Namun dalam implementasinya, sebagian besar pemerintah daerah menggunakan indikator administratif: surat, laporan, kehadiran, dan target dokumen bukan indikator klinis atau medis.
Akibatnya, tenaga kesehatan yang bekerja di puskesmas, rumah sakit, dan pos pelayanan terpencil, sering kali tidak terhitung dalam rumus beban kerja TPP. Mereka hanya dianggap memenuhi komponen kondisi kerja, sementara beban kerja, komponen utama penentu TPP justru tidak diakui.
Kerja bukan di balik meja, tapi di antara hidup dan mati
Salah seorang perawat di wilayah OKU Timur yang enggan disebutkan namanya mengaku kecewa “Kami kerja bukan untuk angka, tapi untuk nyawa. Tapi kalau hitungannya cuma surat dan laporan, ya jelas kami selalu kalah. Padahal kami juga ASN, seragamnya sama, tapi penghargaannya beda.”
Kondisi itu diperparah dengan alasan klasik, tenaga kesehatan dianggap sudah menerima insentif lain, seperti jasa pelayanan (Jaspel) BPJS atau insentif daerah.
Padahal, di lapangan, nominal Jaspel di banyak puskesmas kecil jauh di bawah nilai TPP pegawai sekretariat.
Ketimpangan Struktural, Bukan Kesalahan Individu
Kebijakan ini bukan semata salah satu pihak, melainkan kegagalan desain sistem.
Formula TPP nasional lahir dari logika jabatan administrasi, bukan fungsional pelayanan publik.
Birokrasi masih menghitung kinerja dari tumpukan berkas, bukan dari berapa banyak masyarakat yang tertolong.
Beberapa daerah sudah mulai melakukan koreksi. Kabupaten Sleman dan Kota Bandung, misalnya, telah menerapkan TPP berbasis indikator pelayanan klinis, dengan ukuran beban kerja yang lebih adil untuk tenaga kesehatan fungsional.
Saatnya Daerah Menyembuhkan Sistemnya Sendiri
OKU Timur dan daerah lain di Sumatera Selatan seharusnya berani berinovasi dalam kebijakan kepegawaian.
Membuat formula TPP fungsional bukan hanya soal uang, tapi soal penghargaan terhadap profesi yang menjaga wajah kemanusiaan negara di garda depan.
Integrasi sistem e-Kinerja dengan aplikasi kesehatan (SIMPUS/SIRS) adalah langkah realistis untuk mulai menilai kinerja nakes secara objektif.
Yang Terlupa di Balik Seragam Putih
Tenaga kesehatan adalah ASN juga. Bedanya, mereka bekerja di ruang di mana setiap kesalahan bisa berujung pada kehilangan nyawa.
Jika sistem penghargaan ASN gagal membaca nilai kerja kemanusiaan itu, maka yang perlu dibenahi bukan nakesnya, tapi rumus yang melupakannya.
“Yang menolong nyawa seharusnya tidak menunggu sisa anggaran,” tulis salah satu tenaga medis dalam unggahan yang dibagikan di media sosial.
Discussion about this post