Setiap kali ada acara PAUD, biasanya ada satu hal yang tidak pernah absen, spanduk besar bergambar Bunda PAUD dengan senyum penuh kasih dan kalimat motivatif yang menggugah, “Anak Usia Dini, Pondasi Emas Bangsa.”
Tapi di balik senyum itu, tersimpan tanya sederhana, seberapa jauh sebenarnya Bunda PAUD punya kuasa untuk memperjuangkan pendidikan usia dini?
Antara Gelar Seremonial dan Harapan Serius
Di atas panggung, Bunda PAUD tampak sebagai sosok penyemangat, memotivasi, membagikan hadiah lomba mewarnai, dan membuka kegiatan parenting. Tapi di lapangan, banyak guru PAUD di OKU Timur masih berjibaku dengan realitas getir, honor seadanya, kelas seadanya, dan perhatian yang juga… seadanya.
Tanpa Struktur, Tapi Penuh Ekspektasi
Secara formal, Bunda PAUD memang tidak punya struktur kekuasaan. Ia bukan pejabat, bukan ASN, dan tidak punya anggaran khusus. Tapi masyarakat, dan sering kali pemerintah, menaruh harapan besar di pundaknya.
Bunda PAUD diminta jadi jembatan antara rakyat kecil, sekolah PAUD, dan dinas pendidikan. Masalahnya, jembatan tanpa fondasi kadang cuma berfungsi untuk foto bareng.
Ketika Figur Lebih Didengar daripada Program
Yang menarik, di beberapa desa, peran Bunda PAUD justru jauh lebih didengar ketimbang sosialisasi dari dinas. Sebab ia dianggap “ibu masyarakat” — lebih dekat, lebih luwes, dan lebih bisa diajak ngobrol sambil arisan.
Kalau saja semua Bunda PAUD diaktifkan secara serius, mereka bisa jadi influencer pendidikan anak usia dini paling efektif: versi lokal tapi berdampak nasional.
Dari Simbol ke Sistem
Yang dibutuhkan bukan hanya figur, tapi sistem. Pemerintah daerah perlu menyiapkan ruang bagi Bunda PAUD untuk benar-benar menjalankan perannya: pelatihan advokasi, forum koordinasi lintas sektor, sampai dukungan dana untuk kegiatan pembinaan.
Karena tanpa itu, Bunda PAUD hanya akan terus jadi “gelar manis di spanduk — tapi tak punya gigi di lapangan”.

Discussion about this post