Palembang, KMe – Di atas panggung megah Jakabaring Sport City, Kamis (9/10/2025), Kain Bidak Galah Napuh Komering melambai di bawah cahaya sorot lampu. Diapit dekorasi elegan, ia diperkenalkan kembali sebagai wastra warisan Sumatera Selatan.
Penontonnya bertepuk tangan. Gubernur berpidato. Ketua Dekranasda tersenyum.
Dan di pojok layar LED, nama OKU Timur terpampang bangga.
Namun di tanah asalnya di Komering, bidak-bidak kain itu sudah lama berhenti ditenun. Beberapa perajin bahkan tak lagi menyimpan alat pintalannya.
“Dulu ada yang bisa buat, ada yang menenun di rumah-rumah, sekarang sudah langka dan hampir tidak ada aktivitas menenun,” ujar seorang warga tua di daerah Cempaka, yang masih ingat aroma kapas dan pewarna alami di masa kecilnya.
Wastra yang kini dijadikan simbol kejayaan budaya Komering justru menjadi artefak yang lebih sering tampil di panggung daripada di rumah-rumah penduduknya. Kain yang dulu lahir dari tangan-tangan ibu Komering kini berganti tangan, dari pengrajin ke kurator, dari warisan ke “branding”.
Kontras ini memperlihatkan jurang antara upaya simbolik di panggung provinsi dan kenyataan sosial di lapangan.
Wastra Komering memang dihidupkan kembali—tapi baru sebatas nama dan motif, belum sampai pada kehidupan para pengrajin yang dulu menenunnya.
Dalam rilis resmi Diskominfo OKU Timur, Ketua Dekranasda Kabupaten OKU Timur dr. Sheila Noberta, Sp.A., M.Kes, menyampaikan dukungan atas pelestarian kain daerah ini. Ia berharap pengenalan kembali Kain Bidak Galah Napuh Komering menjadi langkah awal untuk membangkitkan kembali kreativitas lokal.
“Kami berharap semakin banyak karya kain khas daerah akan menambah nilai pasar dari produk tersebut. Dengan banyaknya inovasi baru dan desain modern, wastra yang lama tidak dilupakan,” ujar dr. Sheila.
Kata “tidak dilupakan” mungkin adalah kunci. Sebab di balik upaya pemerintah memajukan wastra, yang paling ditakutkan justru bukan punahnya kain, melainkan hilangnya ingatan tentang siapa yang dulu menenunnya.
Di panggung, Bidak Galah Napuh tampak berkilau. Tapi di Komering, mungkin yang tersisa hanya kenangannya.
Redaksi

Discussion about this post