OKU Timur, Kiri Media – Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel mencatat angka kemiskinan di Kabupaten OKU Timur pada 2025 turun jadi 8,86 %. Tahun sebelumnya masih 9,75 %, artinya ada penurunan sekitar hampir satu persen. Hebat kan? Setidaknya di atas kertas, kemiskinan mulai “pamit pelan-pelan.” Tapi kalau kita jalan ke pasar Martapura atau mampir ke warung kopi di Belitang, obrolan yang terdengar masih sama: harga cabe, pupuk, dan beras naik, tapi penghasilan segitu-gitu aja. Jadi yang turun cuma angka, bukan rasa sesak di dompet.
Sementara itu, BPS Sumsel juga mencatat bahwa kemiskinan di wilayah perdesaan memang turun lebih cepat daripada di perkotaan. Tapi ironinya, OKU Timur yang katanya “lumbung pangan Sumsel” justru punya banyak petani yang hidup pas-pasan. Lahan sempit, harga jual belum sepenuhnya tinggi, dan biaya produksi tinggi bikin petani kadang lebih miskin dari yang beli berasnya. Kalau begini, seharusnya bukan cuma panen padi yang diurus, tapi panen solusi.
Lebih lucunya lagi, beberapa waktu lalu sempat viral kabar bahwa kemiskinan ekstrem di OKU Timur disebut “nol persen.” Wah, luar biasa! Dunia bisa belajar dari kita! Tapi ternyata, BPS sendiri mengklarifikasi bahwa data itu bukan rilis resmi mereka. Jadi bisa dibilang, nolnya bukan nol kemiskinan, tapi nol kejelasan data.
Kalau kita lihat dari Indeks Kedalaman Kemiskinan BPS 2025, OKU Timur mencatat angka 0,97, artinya masih banyak warga yang “hampir” keluar dari garis kemiskinan, tapi belum punya cukup tenaga untuk benar-benar naik kelas. Mereka ini bukan malas, tapi kalah oleh harga barang, upah rendah, dan kebijakan yang kadang sibuk rapat tapi lambat eksekusi. Kalau pejabatnya lebih sering turun sawah daripada turun podium, mungkin angkanya bisa turun beneran.
Pemerintah daerah patut diapresiasi karena sudah banyak program yang dijalankan, mulai dari bantuan sosial, pemberdayaan UMKM, sampai lomba inovasi desa. Tapi tanpa pengawasan ketat, program itu bisa jadi sekadar kegiatan seremonial, ramai di awal, sepi hasil di lapangan. Jangan sampai pejabat sibuk potong pita proyek baru, sementara warga sibuk potong lauk karena uang belanja makin tipis.
Jadi, boleh lah bangga dengan penurunan angka kemiskinan versi BPS. Tapi warga cuma ingin satu hal sederhana: bukan sekadar grafik menurun, tapi harga-harga yang masuk akal dan penghasilan yang cukup buat hidup layak. Karena di OKU Timur, yang benar-benar turun seharusnya bukan cuma kemiskinan di statistik, tapi juga ego pejabat yang kadang lupa, kalau kemakmuran rakyat bukan cuma urusan spanduk peresmian.
Redaksi

Discussion about this post