OKU Timur, Kiri Media –Di balik megahnya cita-cita swasembada pangan nasional dan gemanya Asta Cita Presiden Republik Indonesia, tersimpan kegelisahan yang menyesakkan dada. Ratusan penyuluh pertanian honorer di Sumatera Selatan, termasuk di Kabupaten OKU Timur, kini hidup dalam ketidakpastian. Mereka adalah garda terdepan ketahanan pangan, tetapi justru kini berdiri di tepi jurang regulasi.
Fakta itu mencuat setelah terbitnya Undang-Undang ASN Nomor 20 Tahun 2023 yang menggantikan UU Nomor 5 Tahun 2014. Dalam Pasal 66 disebutkan secara tegas, “Pegawai Non-ASN wajib diselesaikan penataannya paling lambat Desember 2024.
Artinya, ribuan tenaga penyuluh non-ASN di berbagai daerah harus segera mendapat kejelasan status atau bersiap kehilangan pekerjaan.
Kekhawatiran mereka kian memuncak setelah Gubernur Sumatera Selatan mengeluarkan Surat Pengumuman Nomor 800.123/12569/BKD.I/2025 tentang pengadaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di lingkungan Provinsi Sumatera Selatan. Namun, dari ratusan penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang sudah bertahun-tahun mengabdi, banyak yang tak terakomodir dalam skema PPPK Paruh Waktu.
“Kami Kerja dengan Hati, Tapi Seolah Tak Dikenal Negara”
“Dalam menjalankan tugas sebagai penyuluh pertanian, kami bekerja dengan hati. Hujan kehujanan, panas kepanasan, bensin habis di tengah jalan pun sudah biasa. Kami tetap datang ke sawah, ke kebun, ke ladang petani,” tutur Zainudin, S.P, anggota Aliansi Honorer Non-Database BKN Gagal CPNS 2024, saat ditemui di OKU Timur, Jum’at (31/10/2025).
Ia menuturkan, wilayah binaannya kerap berjarak lebih dari satu jam dari rumah. Namun semangatnya tak pernah padam.
“Kami punya tanggung jawab moral. Petani menunggu kami datang. Mereka butuh pendampingan, bukan sekadar laporan,” ucapnya.
Zainudin bersama rekan-rekannya mengawal berbagai program penting pemerintah, Optimalisasi Lahan seluas 273 hektar, Cetak Sawah Rakyat 487 hektar, hingga pendampingan Brigade Pangan.
“Di atas kertas kami bekerja delapan jam, tapi faktanya hampir dua puluh empat jam kami harus siap kapan saja. Telepon dari petani bisa datang tengah malam,” tambahnya.
Kontribusi Nyata, Pengakuan Tak Sebanding
Data menunjukkan, berkat kerja keras penyuluh lapangan di OKU Timur, produktivitas padi meningkat signifikan, menjadikan kabupaten ini yang tertinggi di Sumatera Selatan dan peringkat lima nasional.
Namun ironisnya, para penyuluh itu justru hidup dalam status yang rawan, tanpa kepastian kerja, tanpa jaminan masa depan.
Preli Yulianto, S.P, Ketua Aliansi Honorer Non-Database Gagal CPNS Kabupaten OKU Timur, menyebut mayoritas penyuluh telah mengabdi lebih dari dua tahun, bahkan ada yang lebih dari satu dekade, tetapi belum juga diangkat menjadi PPPK.
“Kami hanya minta keadilan. Kami mohon kepada Bupati OKU Timur, Gubernur Sumatera Selatan, hingga Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, agar memberi kebijakan khusus. Kami bukan menuntut, kami hanya ingin diakui,” katanya.
Preli berharap BKPSDM OKU Timur, BKD Provinsi, dan BKN dapat membuka ruang afirmasi bagi mereka yang gagal CPNS, TMS (Tidak Memenuhi Syarat), maupun yang tak bisa mendaftar karena tak tersedia formasi.
“Setarakan kami. Jangan ada diskriminasi antara yang masuk database dan yang tidak. Kami semua punya kontribusi nyata di lapangan,” tegasnya.
Antara Regulasi dan Kemanusiaan
Kondisi ini menempatkan pemerintah daerah dalam posisi dilematis. Di satu sisi, regulasi pusat mewajibkan penataan tenaga non-ASN sebelum akhir 2024. Di sisi lain, kebutuhan tenaga penyuluh di daerah justru masih jauh dari cukup.
Di OKU Timur saja, jumlah desa jauh melampaui jumlah penyuluh aktif. Idealnya satu desa satu penyuluh, tapi realitasnya satu penyuluh harus mengawal beberapa desa sekaligus.
Jika para honorer non-database ini benar-benar dirumahkan, program swasembada pangan bisa terganggu. “Siapa yang akan mendampingi petani jika kami semua diberhentikan?” tanya Zainudin.
Suara dari Sawah untuk Negeri
Di tengah sorotan publik terhadap kebijakan ASN, suara para penyuluh ini mungkin terdengar kecil, tapi sesungguhnya menggema dari pelosok desa hingga istana.
Mereka bukan sekadar tenaga lapangan, melainkan ujung tombak yang menopang ketahanan pangan bangsa.
“Gaji bisa kami abaikan, tapi jangan abaikan pengabdian kami,” ujar Zainudin.
Pernyataannya menutup wawancara dengan nada getir. Getir dari tanah sawah yang mereka rawat, tapi mungkin segera kehilangan penjaganya.
Redaksi

Discussion about this post