Kalau dengar kata UEP (Usaha Ekonomi Produktif) yang terbayang pasti bantuan modal usaha dari pemerintah daerah untuk rakyat miskin biar bisa berdagang, beternak, atau buka usaha rumahan. Tapi entah kenapa, di lapangan, program mulia ini sering mirip amal tahunan ketimbang mesin ekonomi rakyat.
Yang penting ada seremoni, ada spanduk, ada foto bareng pejabat, lalu laporan ke atas: “Kegiatan berjalan lancar”. Padahal, di bawah, modal usaha kadang tak sampai sebulan sudah ludes buat kebutuhan harian.
Akhirnya, UEP berubah dari usaha produktif jadi usaha pelipur lara.
Lalu pertanyaannya : UEP ini benar-benar program pemberdayaan, atau sekadar panggung politik kemiskinan dan mungkin juga obat nyamuk kemiskinan ?
Tak ada yang salah dengan ide UEP. Pemerintah ingin masyarakat miskin bisa bangkit lewat usaha kecil, bukan hanya menunggu bantuan. Tapi di lapangan, pelaksanaannya sering lebih administratif daripada substantif. Yang sibuk justru bukan warga, tapi panitia, proposal, dan laporan pertanggungjawaban.
Bantuan datang sekali, lalu hilang tanpa kabar. Tak ada pendampingan usaha, tak ada pelatihan manajemen, bahkan tak jarang penerima bantuan tidak tahu harus menjual apa dan ke mana.
Dalam dokumen resmi, UEP kini dikaitkan dengan pengembangan ekonomi kreatif.
Istilah ini keren, tapi implementasinya masih jauh dari makna.
Pemerintah daerah sering menganggap “ekonomi kreatif” itu sekadar ganti nama dari “usaha kecil”.
Padahal, ekonomi kreatif adalah tentang nilai tambah dari ide, desain, dan inovasi.
Kalau masyarakat hanya diberi modal tanpa diajak berpikir kreatif, maka yang lahir bukan pelaku ekonomi baru, melainkan pengulangan kemiskinan dengan format yang lebih modern.
Pertumbuhan ekonomi tercatat 5,12% pada 2024, tapi penduduk miskin masih 9,75% (68, 74 ribu jiwa). Sektor pertanian menyumbang 32% PDRB, artinya mayoritas ekonomi lokal masih bergantung pada pertanian yang butuh nilai tambah, bukan sekadar alat gratisan. Tapi hei, setidaknya gerobak bakso itu Instagramable, kan?
Masalahnya, input tercatat, output jarang dibahas. Kita tahu siapa dapat gerobak, siapa dapat mesin jahit, tapi berapa yang bertahan enam bulan? Berapa yang benar-benar menambah penghasilan? Berapa usaha berkembang jadi penyerapan tenaga kerja lokal? Tak ada jawaban. Klaim sukses pun bisa dipakai pejabat untuk pencitraan: “Lihat, kami bekerja!” Sementara kemiskinan? Tetap menjadi bintang tamu di setiap sesi foto.
Kalau UEP ingin lebih dari sekadar acara foto, seleksi Penerima Berdasarkan Kesiapan Usaha – Jangan asal bagi gerobak. Pastikan penerima punya usaha nyata, bukan hanya rumah dengan “spot foto UEP” yang bagus.
Pelatihan Manajemen & Pemasaran Digital, Agar gerobak bakso bukan cuma cantik di Instagram, tapi juga laris di pasar. Fasilitasi Akses Pasar , tanpa pembeli, etalase cuma pajangan, mesin jahit cuma pajangan, kompor gas cuma hiasan dapur.
Kalau semua langkah itu diabaikan, siap-siap saja, gerobak akan berputar, pejabat akan tersenyum, foto akan dipajang… tapi kemiskinan tetap menunggu. Setia. Tak digaji. Tak pernah absen. Jangan Jadikan Kemiskinan Sebagai Agenda Tetap.

Discussion about this post