OKU Timur, KMe – Kalau biasanya anak SMP sibuk bikin konten atau hafalan rumus, dua siswi dari pelosok Semendawai Timur ini justru sibuk… menyeduh masa depan.
Namanya Ketut Ayu Cantika dan Wayan Angel Helena Putri Rusadi. Dari ruang kelas sederhana di SMP Negeri 2 Semendawai Timur, mereka berhasil bikin juri nasional meneguk kagum lewat karya riset berjudul:
“Rambusa Tea: Eksplorasi Potensi Daun Rambusa dalam Inovasi Teh Celup sebagai Solusi Preventif Diabetes.”
Iya, kamu nggak salah baca, daun rambusa.
Tanaman liar yang biasanya disingkirkan waktu nyabit rumput, kini berubah jadi tiket ke final Kompetisi Riset Siswa Indonesia (KREASI) 2025 di Jakarta, 8 November mendatang.
Ide ini lahir bukan dari laboratorium canggih, tapi dari keprihatinan sederhana melihat banyak warga desa berjuang melawan diabetes.
Alih-alih menyerah pada nasib, Ayu dan Helena memilih riset, mereka olah daun rambusa, uji, keringkan, jadikan teh celup, dan menemukan bahwa “liar” ternyata bisa menyehatkan.
Guru pembimbing mereka, I Gede Mudita Edi Putra, S.Pd., jadi saksi pertama.
Beliau yang awalnya hanya membantu praktikum biasa, kini harus menyiapkan paspor penelitian buat siswanya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan OKU Timur, Wakimin, S.Pd., MM., angkat topi (dan mungkin cangkir teh) untuk karya ini.
“Rambusa Tea membuktikan bahwa anak-anak kita tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga peka terhadap problem nyata di sekitar mereka,” ujarnya.
Komentar yang seolah jadi tamparan lembut bagi dunia pendidikan yang kadang lebih sibuk menghitung nilai ketimbang menumbuhkan rasa peduli.
Sementara itu, Edi Subandi, S.E., MM., Kabid Pembinaan Dikdas, menilai capaian ini sebagai momentum penting.
“Riset Rambusa Tea adalah titik awal tumbuhnya budaya riset di tingkat SMP. Anak-anak kita sudah mampu melihat potensi lokal dengan cara ilmiah. Ini adalah tonggak bagi lahirnya generasi peneliti muda dari OKU Timur,” katanya.
Kalimat itu bisa jadi catatan serius: kalau anak SMP bisa berpikir ilmiah dari daun liar, jangan-jangan yang kurang riset justru orang dewasa.
Kepala sekolah, Kadek Anggraeni, S.Pd., tak kuasa menahan rasa bangga.
“Dari sekolah kecil, anak-anak kami berhasil menembus tingkat nasional. Mereka bukti bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk melahirkan prestasi besar,” ucapnya.
Sebuah pernyataan yang pantas dipajang di dinding tiap ruang guru, terutama yang masih suka mengeluh fasilitas kurang.
Kini, Ayu dan Helena tengah menyiapkan langkah menuju Jakarta. Mereka membawa teh rambusa, harapan, dan mungkin sedikit kegugupan khas anak SMP yang baru pertama kali naik pesawat.
Tapi satu hal pasti, dari daun yang dulu dianggap tak berguna, kini lahir inspirasi yang menyegarkan. Bahwa ilmu pengetahuan tidak selalu lahir dari gedung megah, melainkan dari rasa ingin tahu dua anak desa yang menolak pasrah pada keterbatasan. (Red)
Discussion about this post