OKU Timur, Kiri Media – Di sebuah sudut tenang di Desa Kerta Negara, Kecamatan Madang Suku II, Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan, berdiri sebuah sekolah dasar yang menua dalam diam, SD Negeri Cinta Negara. Dari luar, sekolah ini tampak sederhana, tapi begitu melangkah ke dalam, mata siapa pun akan tercekat.
Meja-meja kayu tua berderit setiap kali disentuh. Kursi-kursi tambal sulam berdiri dengan sisa tenaga yang nyaris habis, sebagian disangga batu, sebagian lagi sudah miring dan patah. Beberapa papan tulis mulai kusam, tak lagi hitam, melainkan keabu-abuan, seperti menua bersama usia sekolah ini.
Namun di antara segala keterbatasan itu, tawa anak-anak masih terdengar nyaring. Mereka duduk di bangku-bangku yang sudah retak, menulis di atas meja yang lapisnya terkelupas, dan menyimak penjelasan guru dengan mata berbinar.
“Yang penting belajar, pak. Kalau meja rusak, bisa gantian sama teman,” ucap seorang siswa polos ketika ditanya tentang kursinya yang sudah hampir kusam dan hampir rapuh.
Sekolah ini memiliki 65 siswa — jumlah kecil tapi penuh semangat. Karena kekurangan ruang kelas, murid kelas 2 terpaksa menempati ruangan bekas rumah dinas guru, yang kini lebih mirip bangunan tua yang hampir rubuh. Dindingnya lembap, atapnya bocor, dan lantainya retak. Namun di ruang itulah, cita-cita besar tentang masa depan Indonesia terus diajarkan setiap hari.
Salah satu guru yang sudah lama mengabdi di sekolah ini mengungkapkan fakta yang membuat hati terenyuh.
“Kursi dan meja belajar yang kami gunakan ini berasal dari bantuan tahun 1993. Sampai sekarang belum pernah diganti,” tuturnya lirih.
Meski usia meubelernya sudah lebih dari tiga dekade, para guru berusaha memperbaikinya dengan cara sederhana, memaku, menambal, atau menumpuk kayu bekas agar tetap bisa dipaka
Para guru di SDN Cinta Negara adalah wajah dari dedikasi sejati. Mereka tak sekadar mengajar, tapi menjaga asa agar anak-anak tak menyerah pada keadaan. Setiap pagi, mereka datang lebih awal untuk menata ruang seadanya, mengeringkan lantai yang bocor ketika hujan, dan menenangkan anak-anak yang takut ketika tiupan angin membuat atap tua berderak.
“Sekolah ini mungkin rapuh, tapi semangat anak-anaknya tidak, anaknya sekolah disana, tapi kami berharap pemerintah memperhatikan kondisi tersebut” kata seorang warga.
Di zaman ketika banyak sekolah di kota berlomba menambah fasilitas digital, di pelosok kecil ini masih ada ruang kelas yang bertahan dengan papan tulis rapuh dan kursi tambal. Tapi dari sanalah, mungkin, lahir anak-anak yang lebih kuat: mereka yang belajar bukan karena nyaman, melainkan karena punya mimpi yang tak bisa ditunda oleh keadaan.
Mereka hanya berharap satu hal, agar pemerintah dan semua yang peduli pada masa depan bangsa ini melihat mereka, mendengar mereka, dan memberi tempat belajar yang layak. Karena di SDN Cinta Negara, setiap kursi yang nyaris roboh bukan sekadar kayu, tapi penyangga masa depan.
Redaksi

Discussion about this post