KiriMedia
  • Berita
  • Politik Rakyat
  • Ekonomi & Sosial
  • Lingkungan
  • Hak Asasi
  • Budaya & Lifestyle
  • Opini
  • Komunitas
  • Berita
  • Politik Rakyat
  • Ekonomi & Sosial
  • Lingkungan
  • Hak Asasi
  • Budaya & Lifestyle
  • Opini
  • Komunitas
No Result
View All Result
KiriMedia
No Result
View All Result

Protokol, Kursi Empuk, dan Nasib Wartawan yang Salah Duduk

Kalau ruang tunggu saja tertutup untuk wartawan, jangan heran kalau berita tentang keterbukaan hanya tinggal slogan di spanduk

by redaksi
9 Oktober 2025
in Opini
Home Opini

Biasanya, yang salah duduk itu peserta ujian. Tapi kali ini, yang “salah duduk” justru wartawann di ruang tunggu Bupati OKU Timur. Niatnya cuma numpang napas dan ngetik berita di tempat yang ber-AC, tapi malah dianggap gangguan negara. Begitulah, di negeri yang katanya terbuka, ruang tunggu bisa jadi ruang tertutup, apalagi kalau kursinya empuk.

Ceritanya sederhana, sehabis liputan di luar ruangan (yang panasnya bisa bikin baterai kamera ikut gosong), para wartawan cuma mau istirahat sejenak di ruang tunggu ber-AC. Kursinya empuk, suasananya tenang, lumayan buat napas sebelum ngetik berita. Tapi belum juga pantat nempel lima menit, datanglah petugas yang menjaga sambil berkata: “Maaf, tidak boleh di sini.” Klasik.

Bagi wartawan, momen itu terasa seperti sinetron mini, antara lucu, heran, dan sedikit getir. Lucu, karena ternyata udara sejuk dan sofa empuk kini jadi fasilitas terbatas. Heran, karena petugas tampak sangat sigap menegakkan protokol, seolah ruang tunggu bupati adalah ruang rahasia NASA. Getir, karena yang diusir bukan penonton gosip, tapi orang yang datang menjalankan tugas jurnalisme.

Pertanyaannya sederhana tapi menyengat: kalau wartawan yang sudah jelas menjalankan tugas saja tidak boleh menunggu di ruang tunggu, siapa yang boleh? Apakah “menunggu” kini masuk kategori pelanggaran etik protokoler?

Padahal, dalam teori komunikasi publik (dan sedikit akal sehat), ruang tunggu justru simbol keterbukaan: tempat di mana informasi menunggu untuk disampaikan, tempat di mana publik bisa menunggu dengan sopan. Tapi kali ini, ruang tunggu malah jadi simbol eksklusivitas yang absurd. Wartawan di luar, protokol di dalam, dan transparansi… entah di mana.

Akhirnya, pengusiran ini bukan cuma urusan kursi empuk dan AC dingin, tapi soal persepsi. Di mata publik, kejadian sepele begini bisa berubah jadi pertunjukan satir kecil: “Ketika ruang tunggu tak lagi menunggu siapa pun, kecuali yang dianggap layak menunggu.”

Dan seperti biasa, wartawan tak perlu membalas dengan marah. Cukup tulis berita. Karena tinta, seperti udara ruang tunggu, selalu punya cara sendiri untuk menyelinap keluar.

Tags: bupatiOKUTimurkebebasanpersdidaerahpengusiranwartawanokutimur
ShareSend

Discussion about this post

Artikel Popular

  • Dari Rambusa ke Jakarta: Dua Siswi SMP OKU Timur “Menyeduh” Prestasi Nasional dari Daun Liar

    Dari Rambusa ke Jakarta: Dua Siswi SMP OKU Timur “Menyeduh” Prestasi Nasional dari Daun Liar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dunia Pendidikan OKU Timur Raih Prestasi Internasional di WICE 2025 Malaysia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tenaga Kesehatan, Anak Tiri ASN OKU Timur dalam Skema TPP

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Terancam Dirumahkan, Ratusan Penyuluh Pertanian OKU Timur Menjerit di Tengah Regulasi ASN Baru

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyalakan Terang dari Sekolah Sederhana, Ketulusan Guru OKU Timur yang Menginspirasi Provinsi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
KiriMedia

© 2025 KIRI.MEDIA

Navigasi Situs

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

Ikuti Kami

No Result
View All Result
  • Berita
  • Politik Rakyat
  • Ekonomi & Sosial
  • Lingkungan
  • Hak Asasi
  • Budaya & Lifestyle
  • Opini
  • Komunitas

© 2025 KIRI.MEDIA