Oleh Redaksi Kiri Media — Batam
Di ruang rawat sebuah rumah sakit di Batam, seorang pria beruban terbaring dengan mata kiri yang tak lagi berfungsi. Ia bernama Ir. Suparman, 59 tahun, terdakwa kasus dugaan pemalsuan surat.
Namun kini, pasal yang menjeratnya bukan lagi persoalan utama. Yang dipertaruhkan jauh lebih besar, penglihatannya bahkan nyawanya.
Cahaya yang Perlahan Padam
Suparman kini hanya bisa menatap samar dengan mata kanannya. Menurut tim medis, mata kiri sudah buta total, sedangkan mata kanan mengalami katarak berat dan pembuluh darah di sekitar kepala kirinya mengalami pembekuan.
“Kalau tidak segera dioperasi, penglihatan bisa hilang seluruhnya,” ujar Rional Putra, pengacara Suparman, Sabtu, 2 November 2025.
Penyakit itu, kata Rional, muncul pertama kali saat kliennya ditahan di Polresta Barelang. Kondisi tahanan yang keras tanpa fasilitas medis memadai membuat penyakit mata Suparman cepat memburuk.
“Bayangkan tidur di lantai tanpa bantal, tanpa kasur. Dari situ kataraknya tumbuh, lalu pembuluh darah di kepala pecah,” ujar Rional.
Suparman juga memiliki riwayat penyakit jantung koroner. Karena tak mendapat penanganan medis intensif selama masa tahanan, kondisinya semakin memburuk.
Hukum yang Menunggu Nurani
Dokter Nurul dari RS Awal Bross Baloi sudah merekomendasikan operasi katarak dan pembersihan pembuluh darah di sekitar mata.
Namun izin tindakan medis dari Kejaksaan Negeri Batam dan Pengadilan Negeri Batam tak kunjung keluar.
“Permohonan pembantaran (izin berobat di luar tahanan) sudah kami ajukan sejak 21 Oktober,” kata Rional. “Tapi majelis hakim menolak.”
Permohonan itu diajukan kepada majelis yang diketuai Vabianes Stuart Wattimena, dengan hakim anggota Ferry Irawan dan Rinaldi. Alasannya belum disampaikan secara terbuka.
“Kalau dilihat dari luar memang tampak sehat. Tapi hasil medis menyebutkan sebaliknya. Ini bukan soal perkara hukum lagi, tapi soal kemanusiaan,” tegas Rional.
Meski kecewa, tim kuasa hukum berencana mengajukan kembali permohonan serupa pada sidang lanjutan, Selasa, 4 November 2025.
“Kami masih percaya, nurani hukum di Batam belum sepenuhnya mati,” ujarnya.
Ketika Kemanusiaan Berhadapan dengan Pasal
Rional menyebut, kasus Suparman mengingatkannya pada peristiwa serupa dua tahun lalu. Saat itu, Abdul Munir, tahanan PN Batam, meninggal dunia karena tak diizinkan berobat.
“Jangan biarkan sejarah kelam itu terulang,” katanya.
Saat dikonfirmasi, Ketua Majelis Hakim Vabianes Stuart Wattimena, enggan memberi komentar.
“Maaf, saya yang menangani perkara ini, jadi tidak bisa memberi keterangan. Silakan ke Humas PN Batam,” katanya singkat.
Humas PN Batam, Douglas Napitupulu, juga belum merespons pertanyaan media hingga berita ini diterbitkan.
Menanti Cahaya di Pengadilan
Kini, Suparman masih terbaring lemah di ruang perawatan, dengan penglihatan yang nyaris padam. “Saya ingin bisa melihat wajah anak saya lagi,” katanya lirih kepada pengacaranya.
Ia tahu sidang akan tetap berjalan, entah matanya masih dapat melihat atau tidak. Tapi di antara berkas perkara dan dakwaan, tubuhnya kini menjadi catatan kecil tentang bagaimana hukum bisa berjalan tanpa hati.
“Izinkan dia diselamatkan dulu, baru disidang,” ucap Rional. “Karena memanusiakan manusia, jauh lebih mulia daripada sekadar menegakkan pasal.”
INFOBOKS
Nama : Ir. Suparman
Usia : 59 tahun
Kasus : Dugaan Pemalsuan Surat (Pasal 263 KUHP)
Lokasi Sidang : Pengadilan Negeri Batam
Majelis Hakim :
Ketua : Vabianes Stuart Wattimena
Anggota : Ferry Irawan, Rinaldi
Kondisi Kesehatan : Katarak berat (buta kiri), jantung koroner, pembekuan darah kepala kiri
Permohonan : Pembantaran untuk operasi katarak (diajukan 21 Oktober 2025, ditolak)
Sidang Lanjutan : Selasa, 4 November 2025.
Catatan Redaksi :
Kasus Suparman menyoroti kembali dilema klasik antara penegakan hukum dan hak kemanusiaan tahanan. Di banyak perkara serupa, keadilan sering datang terlalu lambat, ketika cahaya, atau nyawa, sudah terlanjur padam.

Discussion about this post