OKU Timur, KMe – Suasana Kantor Bupati OKU Timur siang itu tampak sibuk. Di Ruang Aula Bina Praja I, sedang berlangsung kegiatan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) yang dihadiri sejumlah pejabat dan awak media.
Saat acara sedang berlangsung, wartawan Palembang Ekspres Arman mencoba beristirahat sejenak di ruang tunggu depan pintu masuk ruangan Bupati OKU Timur. Di sana, satu set sofa empuk berwarna coklat tersusun rapi, bersih, berkilau, dan tampak mewah.
Namun, niat sederhana untuk sekadar duduk sejenak harus berakhir cepat. Seorang petugas yang berjaga menghampiri dan menegur dengan nada sopan namun tegas
“Maaf, kak. Sesuai arahan dari dalam, di sini dipantau CCTV. Dak boleh duduk di sini. Pindah ya, kk, ke samping. Aku cuma jalankan tugas dari dalam, kak.”
Arman sempat terdiam, lalu menyingkir perlahan. “Berarti rakyat cuma boleh bayar pajak, tapi gak boleh duduk di hasilnya,” ujarnya lirih, mencoba menahan getir dengan senyum tipis.
Kursi empuk hasil uang rakyat itu akhirnya menjadi simbol kecil jarak antara kekuasaan dan rakyat, kursi yang dibeli untuk kenyamanan, tapi tidak boleh digunakan bahkan untuk melepas lelah sejenak.
Tidak Ada Aturan yang Melarang Warga Duduk di Depan Ruang Kepala Daerah
Hasil penelusuran terhadap berbagai regulasi nasional maupun daerah, termasuk Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan serta sejumlah Peraturan Bupati OKU Timur, tidak menemukan satu pun aturan resmi yang melarang warga atau tamu duduk di depan pintu masuk ruang kepala daerah.
Larangan seperti itu, jika ada, kemungkinan besar hanyalah kebijakan internal protokol atau instruksi informal yang tidak tertulis dalam peraturan hukum.
Dengan kata lain, tidak ada dasar hukum yang melarang warga atau wartawan duduk di ruang tunggu, selama tidak mengganggu jalannya kegiatan atau keamanan kantor.
Namun, di lapangan, aturan tak tertulis ini seringkali lebih kuat daripada regulasi itu sendiri. Sofa empuk di depan ruang bupati pun menjadi semacam “zona suci kekuasaan”, tempat yang boleh dilihat, tapi tak boleh diduduki.
Catatan Redaksi:
Tulisan ini bukan soal kursi semata. Ia adalah potret kecil tentang bagaimana kekuasaan sering menjaga jarak dengan cara yang lembut namun nyata. Di ruang publik yang seharusnya terbuka, kenyamanan kadang masih harus meminta izin.

Discussion about this post